Powered By Blogger

Woensdag 08 Mei 2013

puisi

SURATKU

Oleh : karsono

Wajahmu kini pucat tak bernada
Lenganmu kaku tak berseni
Bibirmu biru tak merona
Debu yang telah menguburmu, mungkin.
Atau anngin yang meniupmu
Aku tak pernah tahu.

Sudah kau terima suratku ?
Disana ku luapkan caci makiku
Jangan bilang kau belum membacanya
Masih ingat ?
Saat aku jatuh,
Kemudian kau datang menarikan bait-bait puisi didepanku.
Sekarang kau yang terjatuh :  bahkan lebih jauh kau jatuh
Tapi aku tidak mau menarikan puisimu,
Yang kini kulakukan adalah meniupkan seruling
dan membiarkan bait-bait menari dengan sendirinya.
Kau suka ?

Aku kehilanganmu : bukan cuma aku
Mereka juga
Tapi mungkin kau sibuk, hingga tak pernah membalas surat.
Kurasa, kau sedang  merayu Tuhan dengan puisi-puisi lamamu.
Bagaimana ?
Apa Ia menyukainya ?

Mengingatmu, membuatku ingat pada puisi Gie,
“Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,
Dan yang kedua dilahirkan, tapi mati muda,
Dan yang tersial adalah berumur tua.
Berbahagialah mereka yang mati muda”.

Kau tahu, aku berbohong saat kau tanya kesukaanku pada Chairil anwar.
Aku sama sekali tak menyukainya,
“Laki-laki bodoh”.
Jadi, apa kau akan memaafkanku akan semua itu ?

Meski warnamu semakin pudar,
Tapi kasihmu terasa semakin sejuk mengekalkan.
Hiduplah dengan tenang,
Dan terus rayu Tuhan.

“Betapa indahpun hari ini, tak pernah seindah saat aku mengenal dan bersamamu.
Teruntuk : Bapak Chori Marbawi”
Jambi, 2 Desember 2012

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking