Powered By Blogger

Dinsdag 02 April 2013

hipoglikemi

BATASAN
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukose darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).

 PATOFISIOLOGI
 Hipoglikemi sering terjadi pada BBLR, karena cadangan glukosa rendah. • Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang berlebihan pada janin sehingga respon insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir di mana jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti sedangkan respon insulin masih tinggi (transient hiperinsulinism) sehingga terjadi hipoglikemi. • Hipoglikemi adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksi otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada susunan saraf pusat bahkan sampai kematian. • Kejadian hipoglikemi lebih sering didapat pada bayi dari ibu dengan diabetes melitus. • Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir. • Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan.
DIAGNOSIS
Anamnesis • Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan • Riwayat bayi prematur • Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK) • Riwayat bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK) • Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Mellitus • Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan • Bayi yang beresiko terkena hipoglikemia - Bayi dari ibu diabetes (IDM) - Bayi yang besar untuk masa kehamilan (LGA) - Bayi yang kecil untuk masa kehamilan (SGA) - Bayi prematur dan lewat bulan - Bayi sakit atau stress (RDS, hipotermia) - Bayi puasa - Bayi dengan polisitemia - Bayi dengan eritroblastosis - Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya sterorid, beta-simpatomimetik dan beta blocker

GEJALA KLINIS
Pemeriksaan fisik Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas  Jitteriness  Sianosis  Kejang atau tremor  Letargi dan menyusui yang buruk  Apnea  Tangisan yang lemah atau bernada tinggi  Hipotermia  RDS

DIAGNOSIS BANDING
 insufisiensi adrenal, kelainan jantung, gagal ginjal, penyakit SSP, sepsis, asfiksia, abnormalitas metabolik (hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia, hipomagnesemia, defisiensi piridoksin). Penyulit - Hipoksia otak - Kerusakan sistem saraf pusat
TATALAKSANA
 a. Monitor Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama : o Periksa kadar glukosa saat bayi datang/umur 3 jam o Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan Kadar glukosa ≤ 45 mg/dl atau gejala positif tangani hipoglikemia o o Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai b. Penanganan hipoglikemia dengan gejala : • Bolus glukosa 10% 2 ml/kg pelan-pelan dengan kecepatan 1 ml/menit • Pasang jalur iv D10 sesuai kebutuhan (kebutuhan infus glukosa 6-8 mg/kg/menit). Contoh : BB 3 kg, kebutuhan glukosa 3 kg x 6 mg/kg/mnt = 18 mg/mnt = 25920 mg/hari. Bila dipakai D 10% artinya 10 g/100cc, bila perlu 25920 mg/hari atau 25,9 g/hari berarti perlu 25,9 g/ 10 g x 100 cc= 259 cc D 10% /hari. Atau cara lain dengan GIR Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena sentral. • Untuk mencari kecepatan Infus glukosa pada neonatus dinyatakan dengan GIR. Kecepatan Infus (GIR) = glucosa Infusion Rate GIR (mg/kg/min) = Kecepatan cairan (cc/jam) x konsentrasi Dextrose (%) 6 x berat (Kg) Contoh : Berat bayi 3 kg umur 1 hari Kebutuhan 80 cc/jam/hari = 80 x 3 = 240 cc/hari = 10 cc/jam GIR = 10 x 10 (Dextrose 10%) = 100 = 6 mg/kg/min 6 x 3 18 • Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 3 jam • Bila kadar glukosa masih < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas • Bila kadar 25-45 mg/dl, tanpa gejala klinis : - Infus D10 diteruskan - Periksa kadar glukosa tiap 3 jam - ASI diberikan bila bayi dapat minum Bila kadar glukosa ≥ 45 mg/dl dalam 2 kali pemeriksaan - Ikuti petunjuk bila kadar glukosa sudah normal (lihat ad d) - ASI diberikan bila bayi dapat minum dan jumlah infus diturunkan pelan-pelan - Jangan menghentikan infus secara tiba-tiba c. Kadar glukosa darah < 45 mg/dl tanpa GEJALA : • ASI teruskan • Pantau, bila ada gejala manajemen seperti diatas • Periksa kadar glukosa tiap 3 jam atau sebelum minum, bila : - Kadar < 25 mg/dl, dengan atau tanpa gejala tangani hipoglikemi (lihat ad b) - Kadar 25-45 mg/dl naikkan frekwensi minum - Kadar ≥ 45 mg/dl manajemen sebagai kadar glukosa normal d. Kadar glukosa normal IV teruskan • IV teruskan • Periksa kadar glukosa tiap 12 jam Bila kadar glukosa turun, atasi seperti diatas • Bila bayi sudah tidak mendapat IV, periksa kadar glukosa tiap 12 jam, bila 2 kali pemeriksaan dalam batas normal, pengukuran dihentikan. e. Persisten hipoglikemia (hipoglikemia lebih dari 7 hari) • konsultasi endokrin • terapi : kortikosteroid hidrokortison 5 mg/kg/hari 2 x/hari iv atau prednison 2 mg/kg/hari per oral, mencari kausa hipoglikemia lebih dalam. • bila masih hipoglikemia dapat ditambahkan obat lain : somatostatin, glukagon, diazoxide, human growth hormon, pembedahan. (jarang dilakukan)

makalah

PEMBAHASAN 
2.1. Definisi Atresia Esofagus . 

             Di dalam rongga dada, esofagus berada di mediastium posterior mulai dibelakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri. Fungsi utama esofagus adalahmenyalurkan makanan dan minuman dari mulut ke lambung. Di dalam esofagus makananturun oleh peristaltik primer dan gaya berat terutama untuk makanan padat dan setengahpadat, serta peristaltik ringan Atresia esofhagus berasal dari kata atresia dan eshophagus, atresia berati buntu dan esophagus berarti kerongkongan. 
              Atresia Esofagus adalah gangguan kontinuitas esofagus dengan atau tanpa hubungan dengan trachea atau Esofagus (kerongkongan) yang tidak terbentuk secara sempurna. Kebanyakan bayi yang menderita atresia esofagus juga memiliki fistula tracheasofagel ( suatu hubungan abnormal antara kerongkongan dan trakea/ pipa udara). Kemungkinan kedua kondisi ini disertai oleh anomaly lain seperti penyakit jantung congenital. Atresia esofagus juga dapat diartikan sebagai malpormasi yang disebabkan oleh kegagalan esofagus untuk mengadakan pasase yang kontinue esophagus mungkin saja atau mungkin juga tidak membentuk sambungan dengan trakea ( fistula trakeoesopagus) atau dapat dikatakan bahwa atresia esophagus merupakan kegagalan esophagus untuk membentuk saluran kotinue dari faring ke lambung selama perkembangan embrionik. Adapun pengertian lain tentang atresia esophagus yaitu gangguan dalam pertumbuhan sebuah segmen esoofagus mengalami gangguan dan tetap sebagai bagian tipis tanpa lubang saluran. Fistula trakeo esophagus adalah hubungan abnormal antara trakea dan esofagus. 

2.2. Macam Macam Tipe Atresia Esofagus 

          Macam macam tipe atresia esofagus diantaranya: 
• Tipe A Insiden atresia esofagus tipe A terjadi sekitar 5%_8%. Atresia esofagus tipe A terjadi pada setiap ujung kantong esofagus yang mengalami kebuntuan, dan terpisah jauh dan tanpa berhubungan dengan trakea. 
• Tipe B Insiden ini jarang terjadi. Atresia esofagus tipe B terjadi pada setiap ujung esofagus yang mengalami kebuntuan dengan fistula dari trakea ke segmen esophagus bagian atas.
• Tipe C Insiden atresia esofagus tipe C terjadi sekitar 80%_95%. Atresia esofagus tipe C terjadi pada segmen esophagus proksimal dan berakhir pada kantong buntu, dan segmen distal dihubungkan ke trakea atau bronkus primer dan fistula pendek pada atau dekat bifurkasi. 
• TIPE D Atresia esofagus tipe D sangatlah jarang terjadi. Pada tipe D ini kedua segmen esophagus atas dan bawah dihubungkan ke trakea. 
• TIPE E Atresia esophagus tipe E jarang terjadi jika dibandingkan dengan atresia esophagus tipe A dan C. Pada atresia esofagus ini keadaan trakea dan esophagus nomal dan dihubungkan dengan fistula umum. 

2.3. Epidemiologi Atresia Esofagus 

            Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirscprung seorang ahli anak dari Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya lebih kurang 14 kasus atresia esofagus, kelainan ini sudah di duga sebagai suatu malformasi dari traktus gastrointestinal. Meskipun sejarah penyakit atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus telah dimulai pada abad ke 17, namun penanganan bedah terhadap anomali tersebut tidak berubah sampai tahun 1869. Baru pada tahun 1939, Leven dan Ladd telah berhasil menyelesaikan penanganan terhadap atresia esophagus. Tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron Haight dari Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan sejak itu pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan kongenital yang bisa diperbaiki. Secara Internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup. Di Amerika Utara insiden dari Atresia Esofagus berkisar 1:3000-4500 dari kelahiran hidup, dimana sepertiganya merupakan kelahiran prematur. Kecenderungan peningkatan jumlah kasus atresia esophagus tidak berhubungan dengan ras tertentu. Namun dari suatu penelitian didapatkan bahwa insiden atresia esophagus paling tinggi ditemukan pada populasi kulit putih (1/10.000 kelahiran) dibanding dengan populasi non-kulit putih (0,55/10.000 kelahiran). Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan pada perempuan untuk mendapatkan kelainan atresia esophagus. Rasio kemungkinan untuk mendapatkan kelainan esophagus antara laki-laki dan perempuan adalah sebesar 1,26:1. Beberapa penelitian menemukan insiden atresia esophagus lebih tinggi pada ibu yang usianya lebih muda dari 19 tahun dan usianya lebih tua dari 30 tahun, dimana beberapa penelitian lainnya juga mengemukakan peningkatan resiko atresia esophagus terhadap peningkatan umur ibu. 

 2.4. Faktor Resiko Atresia Esofagus 

           Faktor resiko yang dapat menyebabkan atresia esofagus diantaranya adalah: 
• Faktor Obat, salah satu obat yang diketahui dapat menyababkan kelainan kongenital adalah thali domine. 
• Radiasi, radiasi pada permulaan kehamilan mungkin dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin karena dapat mengakibatkan mutasi gen sehingga terjadi malformasi pada janin. 
• Gizi ibu sewaktu hamil tidak baik. 
• Hidramnion, (janin tidak dapat memakan ketuban). 

 2.5. Etiologi Atresia Esofagus 

           Atresia esophagus disebabkan oleh tumor esophagus dan bayi lahir prematur, tapi tidak semua bayi yang lahir premature mengalami penyakit ini. Dan ada alasan yang tidak diketahui mengapa esefagus dan trakea gagal untuk berdiferensiasi dengan tepat selama gestasi pada minggu ke empat dan ke lima. Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan terjadinya kelainan atresia esophagus. Atresia esophagus lebih berhubungan dengan sindroma trisomi 13, 18, dan 21 dengan dugaan penyebab genetik. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia esophagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik. Perdebatan tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut Selama embryogenesis, proses elongasi dan pemisahan trakea dan esophagus dapat terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka fistula trakeoesofagus akan terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel sebelumnya, yaitu sel bagian depan dan belakang jaringan maka trakea akan membentuk atresia esophagus. Atresia esophagus dan fistula trakeoesofagus sering ditemukan ketika bayi memiliki kelainan kelahiran seperti: 
• Trisomi 13, 18dan 21. 
• Gangguan saluran pencernaan lain (seperti hernia diafragmatika, atresia duodenal, dan anus imperforata). 
• Gangguan jantung (seperti ventricular septal defect, tetralogifallot, dan patent ductus arteriosus). 
• Gangguan ginjal dan saluran kencing (seperti ginjal polisistik atau horseshoe kidney, tidak adanya ginjal,dan hipospadia). 
• Gangguan Muskuloskeletal. 
• Sindrom VACTERL (yang termasuk vertebr, anus, candiac, tracheosofagealfistula, ginjal, dan abnormalitas saluran getah bening). Lebih dari setengah bayi dengan fistula atau atresia esophagus memiliki kelainan lahir lain. 

2.6. Tanda dan Gejala Atresia Esofagus 

          Gejala atresia esofagus dapat dideteksi sejakmasa prenatal yaitu dengan adanya gelembung perut (buble stomach) pada USG pada kehamilan 18 minggu serta kejadian polihidramnion. Gejala yang terlihat pada jam-jam pertama kehidupan dan didiagnosa sebelum makanan pertama diberikan, antara lain: 
• Hipersaliva dan saliva selalu mengalir dalam bentuk buih, Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut) 
• Setiap pemberian makanan bayi memberi reaksi batuk dan ada sumbatan sesak nafas 
• sianosis 
• Sukar memberi makan (ASI) dan cenderung terjadi respirasi pneumoni (2-3 hari setelah pemberian). 
 • Pneumonitis akibat refluks cairan lambung melalui kantong bagian bawah (akibat regurgitasi air ludah dari esofagus yang buntu dan regurgitasi cairan lambung melalui fistel ke jalan napas). 
• perut buncit karena udara masuk kedalam usus melalui fistula trakeaesofagus. 
• Bila dimasukkan kateter melalui mulut, kateter akan terbentur pada ujung esofagus dan melingkar-lingkar. 
• Oliguria, karena tidak ada cairan yang masuk 
• Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan jantung, atresia rectum atau anus. 

 2.7. Penegakan Diagnosa Atresia Esofagus 

          Diagnosa dari atresia esofagus / fistula trakheoesofagus bisa ditegakkan sebelum bayi lahir. Salah satu tanda awal dari atresia esofagus diketahui dari pemeriksaan USG prenatal yaitu polihidramnion, dimana terdapat jumlah cairan amnion yang sangat banyak. Atresia esophagus atau fistula esofagotrakealis bisa disebabkan oleh penyimpangan spontan septum esofagotrakialis ke arah posterior atau oleh faktor mekanik yang mendorong dinding usus depan ke anterior. Pada bentuk yang sering ditemukan, bagian proksimal esophagus mempunyai ujung berupa kantong buntu, sementara bagian distal berhubungan dengan trakea melalui sebuah saluran sempit pada titik tepat di atas percabangan. Atresia esophagus menahan jalannya cairan amnion yang normal menuju saluran usus, sehingga mengakibatkan penumpukan cairan yang banyak sekali dikantong amnion (polihidramnion). Tanda ini bukanlah diagnosa pasti tetapi jika ditemukan harus dipikirkan kemungkinan atresia esofagus. 
            Diagnosa Atresia Esofagus dicurigai pada masa prenatal dengan penemuan gelembung perut (bubble stomach) yang kecil atau tidak ada pada USG setelah kehamilan 18 minggu. Secara keseluruhan sensifitas dari USG sekitar 42 %. Polihidraminon sendiri merupakan indikasi yang lemah dari Atresia Esofagus (insiden 1%). Metoda yang tersedia untuk meningkatkan angka diagnostik prenatal termasuk pemeriksaan ultrasound pada leher janin untuk menggambarkan “ujung buntu” kantong atas dan menilai proses menelan janin. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut: 
a. Memasukkan selang nasogastrik 
b. Rontgen esofagus menunjukkan adanya kantong udara dan adanya udara di lambung serta usus 

2.8. Penatalaksanaan Atresia Esofagus 

           Penatalaksanaan dari atresia esophagus ini antara lain : 
a. Posisikan bayi setengah duduk apabila atresia esophagus disertai fistula, namun apabila atresia tanpa disertai fistula bayi diposisikan dengan kepala lebih rendah (trandelenburg) dan seringlah mengubab-ubah posisi. 
b. Segera lakukan pemasangan kateter ke dalam esophagus dan bila memungkinkan lakukan penghisapan terus-menerus. 
c. Berikan perawatan pada bayi normal lainnya, seperti pencegahan hipotermi, pemberian nutrisi adekuat, dan lain-lain. 
d. Rangsang bayi untuk menangis agar paru berkembang. e. Lakukan informed consent dan informed choice kepada keluarga untuk melakukan rujukan pada pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. 

2.9. Komplikasi 

         Setelah Operasi Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia esofagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut: 
a. Dismotilitas esophagus. Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus. Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai makan dan minum. 
b. Gastroesofagus refluk. Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana mengalami gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan obat (medical) atau pembedahan. 
c. Trakeo esogfagus fistula berulang. Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan seperti ini. 
d. Disfagia atau kesulitan menelan. Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus. 
e. Kesulitan bernafas dan tersedak. Komplikasi ini berhubungan dengan proses menelan makanan, tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea. 
f. Batuk kronis. Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea. 
g. Meningkatnya infeksi saluran pernafasan. Pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah kontakk dengan orang yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen. 
 h. Kebocoran pada sisi anastomis 
i. Masalah makan dengan anak yang lebih besar